Selasa, 06 Oktober 2015

PERAN ILMU ALAMIAH DASAR DALAM MEMBANGUN SIKAP ILMIAH

PERAN ILMU ALAMIAH DASAR DALAM MEMBANGUN SIKAP ILMIAH
Darlina Kartika Rini
Dosen STIT-SIFA Bogor


I.       PENDAHULUAN

Ilmu Alamiah Dasar merupakan kumpulan pengetahuan tentang konsep-konsep dasar dalam ilmu pengetahuan alam dan teknologi yang  membahas hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Tujuan mempelajari Ilmu Alamiah Dasar antara lain; memahami dan mengikuti perkembangan IPTEK, memahami makna IPTEK dalam kehidupan, memahami bahwa alam perlu dikelola, dan manusia perlu untuk memiliki sikap ilmiah dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu Alamiah Dasar merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam yang menerapkan konsep metode ilmiah dalam pengembangannya. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam diawali dengan sifat dasar manusia yang selalu memiliki rasa ingin tahu untuk memenuhi kebutuhannya untuk menuju pada kemajuan berfikir dan peningkatan taraf kehidupannya. Manusia memanfaatkan akal dan budinya untuk mengendalikan diri dan beradaptasi dengan lingkungannnya.  Kalau tubuh manusia mendapat pengaruh negatif dari lingkungannya, maka akan timbul reaksi tubuh yang mendorong manusia untuk melepaskan diri dari lingkungan yang merugikan tersebut. Jadi sifat unik manusia terletak pada akal budinya dan kemauannya menaklukkan jasmaninya.1
Perkembangan alam pikiran manusia dapat juga disebabkan oleh rangsangan dari luar dirinya, keadaan lingkungan, gejala alam dan interaksi dengan makhluk hidup lain di sekelilingnya. Sepanjang masa kehidupan manusia, pola pemikiran dan penalaran manusia dibagi menjadi dua jenis penalaran :

1.    Penalaran Deduktif (Rasionalisme)
Penalaran Deduktif adalah cara berfikir yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk menari kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif menggunakan pola berfikir yang disebut silogisme. Silogisme itu terdiri atas dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
2.    Penalaran Induktif  (Empirisme)
Penalaran Induktif adalah cara berfikir dengan manarik kesimpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Dari pengamatan secara sitematis dan kritis atas gejala-gejala alam akan diperoleh pengetahuan tentang gejala itu. Mungkin akan terlihat adanya karakteristik tertentu, adanya kesamaan, adanya ulangan, dan adanya keteratutan dalam pola pola tertentu. Dengan demikian dapat ditarik suatu generalisasi dari berbagai kasus yang terjadi. Dalam penalaran Induktif akan dapat disusun pernyataan yang lebih umum dan makin bersifat funfamental.2

     Jadi suatu pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu jika cara memperolehnya menggunanakan metode keilmuan, yaitu gabungan antara penalaran deduktif (Rasionalisme) dan penalaran induktif (Empirisme). Jadi secara khusus dapat disimpulkan bahwa himpunan pengetahuan dapat disebut sebagai Ilmu Pengetahuan Alam jika memenuhi persyaratan bahwa obyeknya adalah pengalaman manusia terhadap gejala-gejala alam yang dikumpulkan  melalui metode keilmuan serta mempunyai manfaat untuk kesejahteraan manusia.

II.      METODE ILMIAH SEBAGAI CIRI ILMU PENGETAHUAN ALAM

Berfikir secara rasional dan berfikir secara empiris merupakan dua hal yang saling bertentangan, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Sehingga pada akhirnya timbul gagasan untuk menggabungkan keduanya, sehingga tersusun suatu metode yang dapat digunakan untuk menemukan pengetahuan dengan benar. Gabungan antara penalaran deduktif dan penalaran induktif disebut dengan metode ilmiah. Rasionalisme memberi kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan empirisme berfungsi untuk menguji kebenaran pemikiran rasionalisme. Sehingga menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan sistematis, karena telah teruji secara empiris.
Metode ilmiah merupakan cara dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Untuk menemukan pengetahuan melalui metode ilmiah harus melalui prosedur yang sesusai dengan kaidah-kaidah metode ilmiah2 :
1.     Penentuan Masalah
Penemuan masalah secara empiris menyebabkan manusia melakukan pemikiran yang mendalam dan mengkajinya secara rasional. Kemudian melakukan penelaahan ruang lingkup dan batasannya untuk mempermudah perumusan masalah.
2.     Perumusan Kerangka Masalah
Suatu masalah merupakan suatu gejala dimana beberapa fakta saling berkaitan satu sama lain dan membentuk kerangka masalah. Dalam proses ini sudah dimulai proses berfikir secara empiris dan rasional.
3.     Pengajuan  Hipotesis
Hipotesis adalah kerangka pemikiran sementara yang menjelaskan hubungan antara unsur-unsur yang membentuk suatu kerangka permasalahan. Pengajuan hipotesis berdasarkan pada permasalahan yang bersifat rasional. Kerangka pemikiran sementara yang diajukan tersebut disusun secara deduktif berdasarkan pernyataan-pernyataan atau pengetahuan yang telah diketahui kebenarannya. Setelah pengajuan hipotesis dilanjutkan dengan deduksi hipotesis yang merupakan identifikasi fakta-fakta yang berkaitan dengan hipotesis
4.     Pengujian Hipotesis
Langkah ini merupakan usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan deduksi hipotesis. Jika fakta-fakta tersebut sesuai dengan konsekuensi hipotesis, berarti bahwa hipotesis yang diajukan adalah benar, karena didukung oleh fakta-fakta yang nyata. Sebaliknya jika fakta yang ada tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan, maka dikatakan bahwa deduksi hipotesis ditolak. Jika kebenran suatu hipotesis terbukti, maka hipotesis tersebut dapat dianggap sebagai teori ilmiah dan merupakan pengetahuan baru.
5.     Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan yang diperolah merupakan intisari kajian terhadap pembahasan hipotesa yang merupakan pemecahan masalah dan pembahasan masalah seperti yang diuraikan dalam kerangka masalah yang ditentukan sebelum penentuan hipotesa.

      Berdasarkan Metode Ilmiahnya, Ilmu Pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Ilmu Pengetahuan kualitatif dan Ilmu Pengetahuan kuantitatif. Ilmu Pengetahuan kualitatif mengunakan metode ilmiah berdasarkan teori-teori empiris yang dikutip dan dirangkum dalam suatu teori baru yang bersifat kualitatif.  Ilmu Pengetahuan kuantitatif mengunakan metode ilmiah yang berdasarkan pada analisis matematika, probabilitas atau statistik.

III.        RUANG LINGKUP ILMU ALAMIAH DASAR

1.    Hukum Termodinamika I dan II

       Pada dasarnya Ilmu Alamiah Dasar mempelajari manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai organisme hidup berada dalam habitat lingkungan yang mengelilinginya dan berinteraksi dengan lingkungannya. Organisme Hidup adalah hasil dari evolusi kehidupan yang merupakan suatu proses perubahan bentuk kehidupan menjadi kehidupan yang lainnya melalui proses jutaan tahun. Kehidupan (BIOSFER)  adalah suatu SISTEM dan komponen organismenya adalah SUBSISTEM. Organisme dibentuk oleh Materi dan Energi yang tersedia di Bisofer. Dalam BIOSFER berlaku Hk. Termodinamika I dan II.
        Selanjutkan pembahasan terkait dengan Hukum Termodinamika I yang menyatakan bahwa “Di dalam Biosfer tidak ada energi yang hilang, jumlah energi itu tetap, yang berubah hanya bentuknya”. Sedangkan Hukum Termodinamika II menyatakan bahwa “Pada kondisi normal semua sistem yang dibiarkan tanpa gangguan cenderung menjadi tak teratur, terurai, rusak sejalan dengan waktu”.
         Hal demikian mutlak akan dialami semua makhluk hidup dan proses ini tidak dapat dibalikan.  Hukum ini juga dikenal sebagai “Hukum Entropi”. Entropi adalah selang ketidakteraturan dalam suatu sistem. Entropi sistem meningkat ketika suatu keadaan yang teratur, tersusun dan terencana menjadi lebih tidak teratur, tersebar dan tidak terencana. Semakin tidak teratur semakin tinggi pula entropinya. Hukum entropi menyatakan bahwa seluruh alam semesta bergerak menuju keadaan yang semakin tidak teratur, tidak terencana dan tidak terorganisir.3
Berdasarkan Hukum Kedua Termodinamika ini, sains menetapkan dengan jelas bahwa alam semesta ini tidak mungkin bersifat abadi. Ada perpindahan energi panas yang terus menerus dari benda-benda yang panas menuju benda-benda yang dingin, serta tidak mungkin terjadi hal yang sebaliknya dengan kekuatan apapun, di mana energi panas berbalik arah dari benda-benda yang dingin menuju benda-benda yang panas. Hal tersebut berarti bahwa alam semesta berjalan menuju suatu tingkatan yang memiliki panas sama pada seluruh benda dan meratalah seluruh sumber kekuatan yang ada. Pada saat itu, tidak ada proses kimiawi atau fisika serta tidak ada pula jejak-jejak kehidupan itu sendiri di alam semesta ini.
Ketika kehidupan telah berlalu atau masih berlangsung, proses kimiawi dan fisika itu masih berlangsung di jalurnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa alam semesta ini tidak mungkin bersifat abadi. Karena kalau ia abadi, maka hilanglah seluruh kekuatannya sejak dahulu kala dan berhentilah seluruh proses kreatif yang berlangsung di dalamnya. Apa yang disampaikan sains tidak terbatas pada suatu ketetapan bahwa alam semesta ini memiliki permulaan. Namun ia telah menetapkan sesuatu yang melampauinya bahwa ia tercipta secara sekaligus sejak kurang lebih 18 milyar tahun yang lalu. Kenyataannya bahwa alam semesta masih menjalankan proses perkembangannya secara terus menerus dan dimulai dari pusat pertumbuhan. Oleh sebab itu seseorang yang mempercayai hasil-hasil sains harus percaya pula terhadap konsep penciptaan. Konsep itu tunduk kepada hukum alam [sunnatullah], karena hukum-hukum tersebut merupakan akibat dari konsep penciptaan.
Konsekuensi logisnya manusia harus menerima konsep tentang pencipta yang telah menentukan hukum alam semesta, karena hukum itu sendiri adalah ciptaanNya, sehingga tidak mungkin ada benda ciptaan tanpa ada penciptanya, yaitu Tuhan. Allah Swt telah menciptakan materi di alam semesta beserta berbagai hukum yang menguasainya, bahkan Dia-lah yang menjalankan seluruh hukum tersebut demi keberlanjutan proses penciptaan melalui jalur evolutif-teleologis. Dewasa ini kebanyakan ahli kosmologi dan ahli astronomi kembali ke teori bahwa sebenarnya memang ada penciptaan, sekitar delapan belas milyar tahun yang lalu, ketika jagad raya fisik meledak menjadi eksistensi dalam sebuah letusan mengagumkan yang secara populer dikenal sebagai “dentuman besar” [big bang] yang dijelaskan Hubble. Ada banyak rangkaian bukti untuk mendukung teori yang menarik ini. Apakah orang-orang menerima seluruh detail-detailnya atau tidak, hipotesis yang mendasar [bahwa ada jenis penciptaan tertentu] dari sudut pandang ilmiah tampaknya memang mendesak. Alasan itu bersumber langsung dari bangunan besar bukti ilmiah yang diliputi oleh hukum fisika yang dikenal paling universal [hukum kedua termodinamika]. Dalam pengertian luasnya, hukum ini menyatakan bahwa setiap hari jagad raya menjadi semakin kacau. Ada sejenis turunan yang gradual tetapi juga pasti menuju chaos.
Para ahli fisika telah menemukan rumusan matematis yang disebut entropi untuk mengkuantifikasi kekacauan, dan banyak eksperimen yang cermat membuktikan bahwa entropi total dalam sebuah sistem tidak pernah berkurang. Jika sistem itu diisolasikan dari keadaan sekitarnya, perubahan-perubahan apapun yang terjadi di dalamnya dengan tanpa belas kasihan akan menggeser entropi sampai ia tidak dapat bergerak lebih tinggi. Setelah itu tidak akan ada lagi perubahan lebih jauh: sistem akan mencapai kondisi keseimbangan termodinamika. Sebuah kotak yang berisikan campuran bahan kimia memberikan sebuah contoh yang baik. Bahan-bahan kimia itu akan bereaksi, panas tertentu mungkin dihasilkan, zat-zat yang berupa unsur pokok akan menggantikan bangun molekulnya dan seterusnya. Seluruh perubahan-perubahan ini menambah entropi di dalam kotak itu. Pada akhirnya, muatan-muatan menjadi tenang pada temperatur yang seragam dan bentuk kimia finalnya dan tidak ada sesuatu yang terjadi lebih lanjut. Untuk mengembalikan muatan-muatan tersebut ke kondisi awalnya bukan mustahil, tetapi itu berarti membuka kotak dan mengembangkan energi dan bahan-bahan untuk membalik perubahan-perubahan yang telah terjadi. Manipulasi ini akan menghasilkan lebih banyak entropi dari yang secukupnya untuk mengimbangi reduksi entropi di dalam kotak.3

Jika jagad raya memiliki stok tatanan yang terbatas, dan sedang berubah dengan tanpa dapat dikembalikan menuju kekacauan, dua pengaruh yang sangat dalam berlanjut secara langsung. Pertama bahwa jagad raya pada akhirnya akan mati, bergelimang sebagaimana adanya, dalam entropi yang dimilikinya sendiri. Inilah yang dikenal dikalangan ahli fisika sebagai “kematian panas” jagad raya [the “heat death” of the universe]. Kedua adalah bahwa jagad raya tidak dapat eksis untuk selama-lamanya, kecuali jika ia telah mencapai kondisi akhir keseimbangannya pada waktu tak terhingga di masa lampau. Kesimpulannya: jagad raya [beserta kandungan di dalamnya, energi, materi, dan sebagainya] tidak senantiasa eksis [tidak kekal].
Pendekatan rasionalistik dalam menganalisis berbagai fenomena alam tidak selamanya memadai. Pelajaran dan hikmah terkandung dalam ayat kauniah bertebaran dari ujung Timur sampai Barat. Sebagai salah satu ayat kauniah, hukum termodinamika memegang peranan penting sebagai poros akhir pembenaran deterministik tentang akhir alam semesta. Hukum kedua, meskipun pada awalnya diterapkan pada sistem tertutup dapat meramalkan limit hilangnya panas bintang-bintang. Tanpa sistem konservasi panas yang memadai lama kelamaan tatanan semesta akan mengalami kedinginan kian menyusut. Seakan ini sudah terjadi, manusia dengan segala kelebihan rasionalitasnya tidak berdaya. Bukankah hal demikian secara tidak langsung diakibatkan oleh manusia sendiri? Bukankah tangan-tangan manusia sendiri yang mengekploitasi alam sesuai dengan kehendaknya? Hal ini menunjukkan kelemahan segala potensi yang dimiliki manusia. Oleh sebab itulah selain pendekatan rasionalistik, pendekatan teologis keimanan mesti memainkan peranan. Dalam segala aspek sudah semestinya pelajaran dan hikmah ayat kauniah dapat mempertebal keimanan. Ayat kauniah hukum termodinamika dapat menjadi modal tambahan bagi terbentuknya keimanan yang utuh yang semula memandang sepelenya ayat tersebut. Allah Swt menegaskan:

“Dan rahasia langit dan bumi adalah kepunyaan Allah semata; dan kejadian Kiamat itu datangnya seperti kedipan mata” (QS. An-Nahl: 77).

Hukum kedua termodinamika memang secara tidak langsung meramalkan terjadinya ‘kiamat’. Tetapi harus diingat adalah hukum ini meramalkan beberapa tahun ke depan kejadiannya dari hasil pengamatan terhadap fenomena panas dalam suatu sistem tertutup. Apabila dibalik, dalam arti apabila sistem dapat melakukan konservasi panas maka ‘kiamat’ tidak akan terjadi. Apabila kerja yang dilakukan sistem tidak menghilangkan atau kehilangan panas, maka kembali pada konsideran diktum hukum pertama termodinamika, semuanya akan kekal. Inilah salah satu metode dialektis yang dikembangkan materialisme positivistik. Secara tidak langsung mereka mengingkari adanya suatu kekuatan dibalik fenomena empirik yang bersifat transendental-adi kodrati.3
Dalam beberapa kalamNya, Allah Swt mengisyaratkan berbagai ragam fenomena ilmiah semesta sebagai hasil kreasi yang telah sedemikian rupa mengatur menuju kesempurnaan. Karena Dia memang Maha Sempurna. Dengan sifat KehendakNya begitu mudah alam semesta dicipta dan diatur. Begitu pula mudahnya bagi Dia mengadakan yang tiada dan meniadakan yang ada. Allah Swt berfirman:

“Dan apabila samudera menjadi meluap” (QS. Al Infithar: 3)

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya. Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan bumi serta gunung-gunung diangkat dan dibenturkan sekali bentur, maka datanglah kejadian yang dahsyat, dan terbelahlah langit karena ketika itu ia lemah”(QS. Al Haqqah:13-16).
Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Argumentasi saintisme serta nalar logika secara umum menekankan terjadinya proses dalam menganalisis suatu fenomena sebelum menarik kesimpulan. Berbeda dengan hal itu, Allah Swt itu proses sekaligus pencipta proses sendiri.
Hukum kedua termodinamika memprediksikan struktur tatanan alam semesta menuju kepada sistem kekacauan (chaos). Energi yang dilepaskan sistem akan berakibat entropi bertambah, maka akhirnya keseimbangan sistem berubah menjadi ketidakteraturan. Implikasi ini dihasilkan manakala manusia memandang suatu sistem secara mekanis. Dalam hal ini, sistem (baik sistem organisasi hidup maupun tidak hidup) dipandang tak ubahnya seperti sebuah mesin yang berada di ‘luar sana’. Sistem berada dalam dunianya sendiri, di luar dunia manusia. Inilah salah satu sintesa hasil ‘perselingkuhan’ empirisisme, positivisme, dan materialisme yang banyak menimbulkan krisis multi dimensi seperti terjadi akhir-akhir ini.3

2.         Keteraturan dan Ketidakteraturan3

Hukum Kedua Termodinamika berlaku untuk sistem tertutup tidak menjangkau “sistem terbuka”. Seperti makhluk hidup di bumi sebagai sebuah keteraturan yang begitu kompleks. Pemunculan spontan bentuk-bentuk keteraturan kompleks itu seolah merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum kedua termodinamika. Sistem terbuka merupakan suatu sistem termodinamis dimana materi dan energi dapat keluar masuk. Evolusionis menyatakan bahwa bumi adalah sistem terbuka. Bumi terus menerima energi dari matahari, sehingga hukum entropi tidak berlaku pada bumi secara keseluruhan; dan makhluk hidup yang kompleks dan teratur dapat terbentuk dari struktur mati yang sederhana dan tidak teratur. Namun ada penyimpangan nyata dalam pernyataan ini. Fakta bahwa sistem memperoleh aliran energi tidaklah cukup untuk menjadikan sistem ini teratur. Diperlukan mekanisme khusus untuk membuat energi berfungsi (Harun Yahya, 2000:11)
Aliran energi matahari ke bumi tidak dapat menciptakan keteraturan dengan sendirinya. Setinggi apapun suhunya, asam-asam amino tidak akan membentuk ikatan dengan urutan teratur. Energi saja tidak cukup untuk pembentukan struktur lebih kompleks dan teratur, seperti asam amino membentuk protein atau protein membentuk struktur terorganisir yang lebih kompleks pada organel-organel sel. Sumber nyata dan penting dari keteraturan pada semua tingkat adalah rancangan sadar, dengan kata lain, penciptaan.
Adanya pelanggaran hukum kedua termodinamika menandakan terjadinya pertentangan antara hukum kedua termodinamik dengan evolusi. Dimana evolusi kehidupan adalah proses menuju situasi makin teratur dan makin kompleks, sedangkan hukum kedua termodinamika bahwa alam semesta ini akan melahirkan kekacauan. Hal ini melatar belakangi lahirnya termodinamika nonlinier untuk menggambarkan fenomena pengaturan diri dalam sistem terbuka yang jauh dari kesetimbangan yang dikenal dengan “dissipative stuctures’.

IV.       DAMPAK KEMAJUAN DAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (SAINS) DAN TEKNOLOGI TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA

Kemajuan IPA dan Teknologi terus berlangsung seiring pertumbuhan penduduk dan rasa ingin tahu manusia yang terus ada untuk mencapai kehidupan yang maju dan lebih baik. Pengembangan IPA(Sains) dan teknologi memberi kemudahan, kemakmuran, dan kenyamanan. Tetapi sebaliknya IPA (sains) dan teknologi juga memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Sehingga di masa yang akan datang dunia akan mengalami permasalahan pokok akibat perkembangan IPA (Sains) dan teknologi antara lain ;
1.    Keterbatasan sumber daya alam dan energi
2.    Peledakan jumlah penduduk yang tak terbendung
3.    Polusi dan pencemaran udara, tanah, dan air
Berdasarkan dampak negatif di atas maka manusia perlu mengupayakan adanya :
1.  Pembaharuan sumber daya alam dan memperhatikan pelestarian sumber daya alam.
2. Pengelolaan sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan dan pemerataan penduduk.
3. Penanganan polusi dan pencemaran lingkungan melalui penyuluhan dan pendidikan akan kecintaan terhadap lingkungan.
4. Perlu memiliki sikap ilmiah demi kesinambungan dan keseimbangan proses kehidupan manusia. Adapun sikap ilmiah tersebut meliputi : a.  Rasa ingin tahu yang tinggi
b.    Bersikap obyektif dan universal
c.  Berpedoman pada kebenaran
d.  Berpikiran terbuka
e.  Bersikap optimis
f.   Jujur
g.  Toleran
h.  Kreatif, Inovatif, Inisiatif dan Produktif









1 Drs. Margono dkk, Ilmu Alamiah Dasar, UNS, Surakarta, 1992, hal.2
2Drs. Abdullah Aly dan Ir. Eny Rahma, Ilmu Alamiah Dasar,PT Bumu Aksara, 1991, hal. 11
3 https://jamiludin.wordpress.com/2010/10/11/hukum-kedua-termodinamika/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar